Isekai wa Smartphone to Tomo ni Chapter 433 Bahasa Indonesia

 

TranslatorUDesu
Editor
UDesu
Proof Reader
UDesu


Arc 30: Administrator Dunia, Timur ke Barat
Chapter 433 : Panteon dan Undian Dewa

“Eh? Di mana ini?” (Touya)

 

Tempat di mana aku dibawa oleh Karen nee-san berbeda dengan ruangan tempat ku biasa bertemu dengan Kami-sama (meskipun agak aneh menyebutnya sebagai ruangan).

Lantai marmer putih yang bersih, pilar putih besar yang berbaris di kedua sisi. Di luar terlihat lautan awan yang terbentang sejauh mata memandang.

Tepat di depanku, di ujung tangga berdiri sebuah bangunan mirip kuil.

Di atasku terdapat langit yang cerah tanpa satupun awan—tunggu, awannya kan di bawah. Tidak ada awan, namun terdapat pelangi yang membentuk sebuah lingkaran. Langit berwarna biru yang berada di tengah lingkaran itu terlihat seakan ingin menarikku.

 

“Lewat sini-no yo.” (Karen nee-san)



 


Karen nee-san menarik tanganku dan mulai berjalan.

 

“Tu-Tunggu dulu. Tempat apa ini?” (Touya)

“Panteon-no yo. Ini adalah tempat publik yang digunakan oleh seluruh dewa... bisa dibilang seperti tempat nongkrong. Yang membuat tempat ini adalah Dewa Pencipta. Semua yang bisa datang ke sini adalah para dewa dan dependannya-no yo.” (Karen nee-san)

 

Panteon? Aku tahu soal istana Kerajaan Iblis Xenoas yang disebut Pandemonium, apa mereka ada hubungannya?

(Tlnote : kanji yang dipakai pada panteon 万神殿, sedangkan pandemonium 万魔殿 hanya berbeda satu huruf tengah yang kurang lebih berarti dewa dan iblis)

 

 

Sambil ditarik oleh Karen-neesan, pemandangan di sekitarku tiba-tiba saja berubah. Meskipun seharusnya kami berada di dalam sebuah ruangan, tapi tempat ini lebih mirip dengan sebuah taman di dalam istana. Ada berbagai tumbuhan yang tumbuh di sekitar, dengan sebuah lahan yang ditutupi oleh rerumputan. Di tengahnya bahkan ada sebuah air mancur.

 

“Apa-apaan tempat ini..” (Touya)

“Ada banyak tempat dan ruangan yang berbeda di sini, tapi kau tak perlu menggunakan cara khusus untuk memasukinya-no yo. Kau bisa pergi ke manapun hanya dengan mengikuti jalur manapun yang kau pilih.” (Karen nee-san)

 

Jalur manapun... jadi maksudmu tidak ada jalan pasti di tempat ini? Tempat aneh juga ada batasnya...

 

Orang-orang yang kami lewati sedang terlihat bersantai di taman sambil melihat ke arah kami dengan penasaran. Mereka semua adalah dewa, kan? Kurasa burung mirip burung gereja yang terbang di sana itu juga merupakan dependan dewa atau semacamnya.

Mungkin karena menyadari pandanganku, burung itu kemudian terbang ke sini dan mendarat di bahu Karen nee-san.

 

“Oh, Dewi Cinta, apa itu dewa baru yang sedang hangat dibicarakan itu?” (Dewa Terbang)

“Ya. Kami sedang buru-buru, Dewa Terbang, jadi mari bicarakan nanti saja-no yo.” (Karen nee-san)

“Haha... baiklah kalau begitu.” (Dewa Terbang)

 

Hm. Dia bukan dependan melainkan dewa sungguhan maaf karena seenaknya menilaimu.

 

“Tak apa-apa. Yah, mari bicarakan nanti saja.” (Dewa Terbang)

“Eh? Ah, oke.” (Touya)

 

Setelah mengatakan itu, Dewa Terbang mengepakkan sayapnya dan kemudian pergi. Apa dia membaca pikiranku? Yah, dia adalah dewa, jadi kurasa wajar saja kalau dia bisa membaca pikiran.

 

“Sudah milyaran tahun sejak terakhir kali Dewa Dunia memiliki dependan baru, jadi semuanya sangat penasaran denganmu-no yo. Touya-kun sebenarnya sudah sedikit terkenal di tempat ini loh-no yo. Yah, berkat itu kita jadi mendapat sedikit masalah sih...” (Karen nee-san)

“Eh? Apa aku melakukan hal yang buruk?” (Touya)

“Tidak kok. Masalahnya bukan di Touya, tapi... ah, nanti saja kita bicarakan saat sudah sampai.” (Karen nee-san)

 

Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sambil terus ditarik oleh Karen nee-san, kami pun melewati taman tadi, melewati sebuah pintu berbentuk busur dan masuk ke bangunan lain.

.... kami seharusnya masuk ke dalam sebuah bangunan, tapi...

Kami malah berada di luar ruangan. Tidak, apa aku bisa menyebut tempat ini dengan ‘di luar’? Aku sama sekali tak bisa membedakannya. Aku masih bisa melihat lautan awan sejauh mata memandang, tetapi di tanah terdapat banyak sekali bunga dengan jenis yang berbeda bermekaran.

Di sini aku bisa melihat banyak sekali pilar putih yang sama dengan tempat sebelumnya. Karena hanya ada pilar di sini, tempat ini jadi terlihat seperti obelisk di Mesir.

Rasanya seperti di surga... kurasa tidak salah juga sih. Atau lebih tepatnya, bukankah surga berada di bawah tempat ini? Soalnya di sini kan merupakan Alam Dewa. Aku jadi bingung.

 

“Yaa... akhirnya datang juga.” (Kousuke ojii)

“Eh? Kousuke ojii-san?” (Touya)

 

Tanpa kusadari, Dewa Pertanian, Kousuke ojii sedang berdiri di hadapanku. Di sebelahnya juga ada Dewi Berburu Karina nee-san.

 

“Saat ini sudah sedikit tenang. Soalnya para dewa yang berisik juga telah ditahan oleh Dewi Pedang dan Dewa Bela Diri. Duh, dasar pembuat onar.” (Karina nee-san)

 

Atau begitulah kata Karina nee-san sambil menghela nafas. Aku sama sekali tak mengerti apa yang sedang terjadi.

 

“Bisakah kalian menjelaskan padaku apa yang sebenarnya sedang terjadi?” (Touya)

“Ya, kurasa lebih baik jika kau menanyakannya pada Dewa Dunia. Kami juga akan menemanimu. Ayo pergi ke sana.” (Kousuke ojii)

 

Kousuke ojii pun mulai berjalan. Pada akhirnya tak ada pilihan lain selain mengikutinya, ya...

Sembari kami berjalan di tengah harumnya semerbak bunga, akhirnya aku melihat sebuah pohon mirip sakura dan kelopak pucatnya yang berguguran tertiup angin.

Tak lama kemudian aku menyadari banyak sekali sosok yang sedang menikmati pemandangan di sekitarku. Tak salah lagi kalau mereka juga adalah para dewa. Mereka juga sedang melihat ke arah sini.

Jujur saja rasanya kurang mengenakkan. Rasanya aku seperti diperlakukan seperti seekor hewan langka atau sejenisnya. Apa mungkin aku terlalu merasa paranoid?

 

“Oh, syukurlah kau akhirnya datang.” (Kami-sama)

“Akhirnya datang juga! Nyahahaha!” (Suika)

 

Di bawah pohon sakura besar terlihat Kami-sama yang sedang duduk di atas tikar goza. Di sebelah beliau ada Suika yang sedang memeluk satu set botol sake dan di sebelahnya lagi ada Sousuke nii-san yang sedang memegang harpa.

 

“Maaf karena tiba-tiba memanggilmu ke sini. Duduklah dulu.” (Kami-sama)

 

Untuk sementara, aku akan menuruti instruksi Kami-sama dan duduk di atas goza. Rasanya goza ini memiliki bahan yang sangat bagus. Apa ini benar-benar sebuah goza?

 

“Sebenarnya, hari ini sedang diadakan jamuan bagi para dewa. Ini adalah kesempatan yang bagus bagi semuanya untuk berkumpul, jadi aku telah membicarakan rencana soal resor pada mereka. Karena Touya-kun sudah setuju untuk menjadi manajer di dunia itu, maka kita sudah bisa merealisasikan rencana tersebut. Saat mereka mendengarnya, mereka semua menjadi tertarik dan senang akan berita tersebut. Mereka dengan terang-terangan bersorak dan membuat keributan karena punya kesempatan untuk turun ke dunia bawah.” (Kami-sama)

“Ah, soal dewa yang akan turun ke dunia dan menghabiskan waktu liburan sebagai manusia biasa?” (Touya)

“Tepat sekali. Dan setelahnya, kami tiba pada pembahasan soal pesta pernikahanmu. Dan saat aku mengatakan kalau aku, Dewi Cinta, Dewi Pedang, dan yang lainnya akan menghadirinya sebagai anggota keluargamu, mereka mulai protes dan mengatakan kalau mereka juga ingin diberi kesempatan untuk menghadirinya.” (Kami-sama)

 

Eh? Kenapa.... kenapa topik pembicaraan soal pernikahanku mencuat saat mereka sedang membicarakan rencana soal resor?

 

“Intinya begini-nano yo. Jika mereka bisa menghadiri pesta pernikahanmu sebagai anggota keluargamu, mereka akan bisa turun ke dunia lebih dulu dari dewa yang lain. Bisa dibilang seperti kelompok yang pertama dalam rencana resor tersebut.... atau lebih tepatnya seperti tamu undangan khusus.” (Karen nee-san)

“Eh, apa-apaan itu?” (Touya)

“Bisa gawat kalau kami seenaknya saja menentukan siapa yang akan menjadi anggota keluargamu tanpa sepengetahuanmu. Itulah sebabnya aku memanggilmu ke sini. Kalau membicarakan posisi yang masih kosong, itu adalah sebagai orang tuamu, saudaramu, paman dan bibimu, sepupumu, dan lain sebagainya.” (Kami-sama)

“Eh, tunggu dulu! Aku bisa repot kalau anggota keluargaku tiba-tiba saja bertambah seperti itu!” (Touya)

 

Saat ini aku sudahpunya 8 dewa sebagai anggota keluargaku, loh! Meskipun keluarga intiku hanya Kami-sama, dan juga Karen nee-san serta Moroha nee-san sih.

Ditambah lagi, meskipun dunianya berbeda, namun ibu dan ayahku juga masih hidup. Rasanya agak aneh memanggil orang lain sebagai ibu dan ayahku. Kalau soal kakek sih, karena aku juga punya dua kakek dari kedua orangtuaku, jadi tak masalah jika bertambah lagi.

 

“Yah, aku juga setuju soal itu-no yo. Soalnya aku tak mau dewa yang aneh menjadi ayah atau ibuku.” (Karen nee-san)

“Maksudmu dengan aneh?” (Touya)

“Touya-kun, apa kau bisa menyebut Dewa Terbang tadi sebagai ayahmu-no yo?” (Karen nee-san)

“... orang lain pasti akan menyebutku gila.” (Touya)

“Syukurlah kau mengerti-no yo.” (Karen nee-san)

 

Maksudku, bentuknya itu seperti burung gereja loh. Kalau dilihat lagi, ada beberapa dewa yang bentuknya aneh yang sedang melihat ke sini. Di sana juga ada dewa menyerupai manusia tapi memiliki kepala kucing atau burung. Mereka seperti dewa orang mesir dan sekitarnya. Mereka benar-benar berbeda dari bayanganku soal dewa.

Yah, di antara ras iblis juga ada makhluk semacam manusia berkepala kucing, jadi meskipun mereka turun ke dunia, orang-orang pasti hanya akan sekedar penasaran dan tak akan terlalu membuat keributan. Tapi tetap saja... mustahil kalau dewa semacam itu menjadi ibuku, kan?

 

“Bukankah tak masalah meskipun mereka tidak menjadi keluargaku? Seperti teman dari kampung halamanku, atau orang-orang yang dulunya pernah membantuku.... sepertinya tak masalah jika aku mengundang tamu semacam itu ke pesta pernikahanku.” (Touya)

 

Begitu mereka mendengar perkataanku, dewa-dewa di sekitarku mendadak bersorak. Uwah! Bikin kaget saja!

 

“Betul sekali, dewa baru!” (Dewa A)

“Ya! Semuanya harus diberi kesempatan!” (Dewa B)

“Tepat sekali! Kami juga ingin bersantai!” (Dewa C)

 

Eh, apa yang ingin turun ke dunia sebanyak ini? Apa para dewa sebenarnya tidak ada kerjaan?

Meski begitu, sepertinya tidak semua dewa terlihat antusias. Mereka terbagi menjadi dua kelompok yaitu dewa yang ingin segera turun, dan juga dewa yang berpikir kalau kapan-kapan saja.

 

“Apa tak masalah? Kalau begini semuanya pasti akan turun loh-no yo? Jika mereka semua menyebabkan masalah di dunia, yang harus bertanggung jawab dan membereskan semua itu adalah Touya-nano yo? Sebagai staf pembantu kami juga akan membantumu sih, tapi...” (Karen nee-san)

“Eh? Tunggu, apa mereka akan membuat masalah?” (Touya)

 

Aku menjadi gelisah saat mendengar bisikan Karen nee-san yang ada di sebelahku. Sepertinya dewa yang turun ke dunia tak mungkin tidak menyebabkan masalah, ya?/

 

“Semuanya tenang dulu. Meskipun kita akan menjadikan dunianya menjadi resor bagi para dewa, tapi bukan berarti kita bisa pergi dan berbuat seenaknya di sana. Dunia bawah juga punya aturannya sendiri. Dan jika kita menghiraukannya, kita hanya akan mencoreng nama Touya sebagai manajer dunia itu, terlebih lagi itu juga mencoreng nama Dewa Dunia.” (Kousuke ojii)

 

Saat Kousuke ojii mengatakan itu, keributan tadi menjadi diam. Seperti yang diharapkan dari dewa yang paling punya akal sehat di antara dewa-dewa yang telah turun ke dunia kami.

 

“Kalau begitu, Dewa Pertanian... bagaimana sebaiknya kita memilih anggota yang akan diundang ke persta pernikahan itu?” (Dewa D)

 

Dewa yang tingginya mencapai 2,5 meter bertanya. Dia mengenakan pakaian chiton mirip orang Yunani yang menggantung di bahu sebelah kirinya. Otot-otot kekarnya bisa terlihat di bagian yang tidak ditutupi oleh pakaian. Terlebih lagi, dia kerap kali menunjukkan pose binaragawan seolah sedang memamerkan ototnya.

 

“Kita akan menentukannya mulai sekarang, Dewa Kekuatan. Untuk itulah dia dipanggil ke sini.” (Kami-sama)

 

Dewa Kekuatan, ya...

 

“Berapa dewa yang kau perbolehkan?” (Kami-sama)

“Umm... meski kau menanyakannya padaku... bagaimana menurut Karen nee-san dan yang lainnya?” (Touya)

 

Kami-sama bertanya padaku, tapi aku sama sekali tak tahu harus menjawab apa. Oleh sebab itu aku lemparkan pertanyaan itu kepada Karen nee-san dan yang lainnya yang berada di sebelahku. Mari berikan masalah soal dewa kepada sesama dewa. Meski aku juga sudah termasuk dewa sih.

 

“Hm, bisa gawat kalau terlalu banyak yang turun... soal berapa banyaknya.... mungkin maksimal sepuluh dewa saja dulu.” (Karen nee-san)

 

Sepuluh  dewa, ya... yah, selama mereka bukan dewa yang suka membuat masalah sih tak masalah bagiku.

 

“Dan juga, bagi mereka yang menunjukkan perilaku paling baik selama berada di dunia bawah... hm, bagaimana kalau mereka boleh tinggal lebih lama sebagai staf pendukung?” (Kami-sama)

“Ah, boleh juga-nano yo. Dengan cara itu, kita mungkin bisa menambah jumlah kelompok yang turun selanjutnya.” (Karen nee-san)

 

Karen nee-san menjentikkan jarinya saat mendengar proposal dari Kami-sama. Eh? Jumlahnya akan bertambah lagi?

 

“Apa tak masalah? Soalnya jika mereka serius mengamuk, kita pasti tak akan bisa menghentikannya, kan?” (Touya)

“Tak akan ada dewa yang seliar itu. Tenang saja, soalnya semuanya ingin menikmati hidup sebagai manusia biasa. Dan jika memang terjadi masalah yang tak bisa kau tangani, maka aku akan melakukan sesuatu soal itu. Soalnya kau masih dalam masa latihan, jadi tentu saja atasanmu akan bertanggung jawab atas kejadian seperti itu.” (Kami-sama)

 

Uh... yah, kurasa tak masalah kalau begitu. Kurasa semua akan baik-baik saja jika ada banyak yang membantu.... ya, kan?

 

“Jadi, tak masalah sebanyak 10 dewa? Tentu saja, mereka tak akan langsung turun sekarang juga. Dewa-dewa yang terpilih akan turun secara berkelompok dalam beberapa gelombang sebelum pesta pernikahan.” (Kami-sama)

“Eh? Eng, yah...” (Touya)

 

Jadi akhirnya, jumlah dewa yang ada di dunia kami akan bertambah lagi... sekarang saja sudah cukup banyak. Meskipun tidak menghitung Kami-sama, sudah ada 7 dewa yang tinggal di dunia kami.

 

“Mengenai sepuluh dewa tersebut, jujur saja, satu diantara mereka sudah ditetapkan. Soalnya aku sudah berjanji. Apa kau ingat? Aku akan mengirimkan dewa yang bisa memperbaiki barier duniamu.” (Kami-sama)

“Ah, iya.” (Touya)

 

Barier yang melindungi dunia kam dari bahaya luar sudah banyak berlubang akibat ulah Fraze. Sepertinya dibutuhkan seseorang yang memiliki kemampuan dan ketelitian untuk memperbaikinya. Tentu saja, aku tak bisa melakukan itu, da Karen nee-san serta yang lainnya yang tinggal bersama kami juga tidak bisa teliti dalam melakukannya. Jadi Kami-sama memberitahuku kalau beliau akan mengirimkan orang yang bisa melakukannya.... eh,

 

“Owowowowow!” (Touya)

“Maaf saja kalau aku bukan orang yang teliti-no yo. Sangat mudah untuk membaca pikiran di dunia ini, jadi sebaiknya kau lebih berhati-hati-no yo~” (Karen nee-san)

 

 

Karen nee-san mencubit pipiku. Katakan sejak awal dong!

 

“Apa yang sedang kalian lakukan... yah, tak masalah. Aku akan mengirimkan orang itu terlebih dahulu dibanding yang lainnya, tak masalah, kan?” (Kami-sama)

“Soalnya aku yang meminta tolong padamu, jadi tentu saja aku tak keberatan.” (Touya)

“Baiklah kalau begitu, aku akan memperkenalkannya padamu.” (Kami-sama)

 

Saat Kami-sama menepukkan tangannya, seorang wanita tua tiba-tiba muncul di belakangnya.

Rambutnya sudah putih, dan dia terlihat berumur 70 tahunan. Dia terlihat seperti nenek-nenek elegan yang memakai kimono berwarna putih. Meskipun beliau mengenakan model berpakaian gaya timur, tapi matanya terlihat berwarna biru. Entah kenapa, meskipun seharusnya ini pertama kali kami bertemu, tapi aku merasa sangat familiar dengannya.

 

“Itu karena aku juga merupakan dependan dari Dewa Dunia. Sama sepertimu.” (???)

“Ah, jadi begitu.” (Touya)

 

Dia menjawab sambil tersenyum. Sial, isi pikiranku dibaca lagi. Akankah isi pikiranku tidak akan bisa dibaca jika aku mulai bisa membiasakan diri?

Wanita tua tersebut kemudian duduk di sebelah Kami-sama. Saat mereka duduk bersebelahan, mereka terlihat seperti pasangan orang tua.

 

“Dia yang akan bertugas dalam memperbaiki barier dunia.  Dewa peringkat atas, Dewi Ruang Waktu.” (Kami-sama)

“Senang bertemu denganmu, Touya-kun. Untuk sementara, aku akan mengisi posisi sebagai nenekmu.” (Dewi Ruang Waktu)



 


Nenekku?  Jadi dia akan menjadi istri Kami-sama, ya? Jujur saja, mereka terlihat sangat serasi.

 

“Wah, jadi kami terlihat serasi, ya?” (Dewi Ruang Waktu)

“Hm, rasanya agak sedikit malu saat mendengarnya.” (Kami-sama)



 


Mereka berdua tertawa dengan sedikit malu. Aduh, isi pikiranku terbaca lagi.

 

“Eh... apa berarti Dewi Ruang Waktu adalah dewi yang bertugas mengontrol ruang dan waktu?” (Touya)

“Tepat sekali. Untuk memperbaiki barier dunia, kau harus mengambil bagian yang rusak dan membuatnya dari awal lagi. Akan tetapi hal itu bisa menyebabkan duniamu tidak terlindungi dan itu juga membutuhkan waktu yang cukup lama, kan? Jika aku yang melakukannya, aku bisa memperbaiki barier dunia dengan memutar kembali waktu pada barier tersebut, jadi masalah-masalah yang kusebut tadi tidak akan terjadi, dan tentu saja itu lebih mudah daripada harus membuatnya dari awal lagi.” (Dewi Ruang Waktu)

 

Ah, begitu. Lima ribu tahun yang lalu barier dunia telah diperbaiki untuk sementara akibat amukan [Mahkota] hitam Noir, dan [Mahkota] putih Albus. Dengan kata lain dia akan melakukan hal yang sama, ya.

 

“Karena memutar waktu barier sekaligus akan menyebabkan beberapa bagian menjadi kusut, jadi aku berencana untuk memutar waktunya sedikit demi sedikit. Ibaratnya seperti sedang merajut. Selama melakukan hal itu, aku akan tinggal di tempatmu.” (Dewi Ruang Waktu)

“Ah, ya. Aku tak keberatan. Jadi, bagaimana aku akan memanggilmu?” (Touya)

“Hmm... Tokie. Aku akan menggunakan nama Mochizuki Tokie saat berada di dunia bawah. Jadi kau bisa memanggilku Tokie obaa-chan.” (Tokie obaa-chan)

“Tokie obaa-chan...” (Touya)

“Mohon kerjasamanya, Touya-kun.” (Tokie obaa-chan)

 

Dewi Ruang Waktu... Tokie obaa-chan tersenyum sambil mengatakan itu. Entah kenapa aku menjadi tenang saat mendengarnya. Beliau terlihat seperti dewi yang sesungguhnya. Ups, sebaiknya aku tidak mengatakah hal yang tidak perlu karena isi pikiranku bisa dibaca.

 

“Jadi, bagaimana cara kita menentukan dewa lainnya?” (Touya)

“Sejak dahulu kala kami telah menggunakan undian untuk menentukan sesuatu.” (Kami-sama)

 

Undian ya... yah, omikuji adalah tradisi yang sangat terkenal. Kurasa tak masalah jika para dewa memutuskan sesuatu dengan menggunakan cara itu. Dewa-dewa lain yang berada di sekitar kami juga sepertinya tak keberatan.

 

“Tentu saja, dilarang menggunakan kekuatan surgawi. Aku sendiri yang akan mengawasinya. Tentu saja ramalan atau kemampuan menerawang juga dilarang, oke? Supaya adil, undiannya akan dibuat oleh Touya-kun.” (Kami-sama)

 

Eh, aku? Yah, tak masalah sih.

Saat aku bertanya berapa jumlah dewa yang ingin ikut serta, jawabannya ada sekitar seratus. Bukankah itu terlalu banyak? Apa mungkin para dewa emang gak ada kerjaan? Rasa ingin tahu bisa membunuh kucing, dan kurasa kebosanan juga bisa membunuh dewa....

Kalau bicara soal undian, kurasa aku akan membuatnya seperti omikuji yang ada di kuil-kuil. Sebuah wadah silinder dengan lubang kecil di ujungnya dimana batang kayu tipis akan keluar saat kau mengguncangnya.

 

Aku kemudian membuat sebuah kotak berbentuk prisma segi enam dan memasukkan batang kayu undian di dalamnya. Sepuluh batang kayu telah dicat ujungnya, dan selebihnya adalah batang kayu biasa  yang berjumlah lebih dari seratus buah.

Kemudian aku menutupnya dan memberi sebuah lubang kecil. Selesai,

Aku pun menyerahkan kotak omikuji itu kepada Suika.

 

“Baiklah, semuanya berbaris~ yang tidak mematuhi aturan akan didiskualifikasi~ dan tak akan bisa meminum alkohol yang super nikmat di dunia bawah~ Nyahahaha~” (Suika)

 

Aku bisa mendengar beberapa dewa menelan ludah mereka saat mendengarnya. Tolong jangan tambah jumlah pemabuk lagi...

Setelah itu, beberapa dewa bergantian mengguncang kotak dan menarik undiannya lalu duduk di pinggir sambil terlihat lesu. Tapi karena kemungkinannya masih ada, mereka akan kembali berbaris di ujung barisan lagi.

Semuanya menarik undian sambil berdoa. Pemandangan itu sangat aneh, soalnya mereka kan dewa...

Meskipun ada banyak yang terlihat lesu setelah menarik undian, tapi ada juga keributan di berbagai tempat.

 

“Kelihatannya menyenangkan.” (Tokie obaa-chan)

“Ya. Soalnya tidak banyak kesempatan untuk bersenang-senang seperti ini di tempat ini.” (Kami-sama)

 

Pasangan orang tua tersebut sedang meminum teh di meja kecil yang telah dikeluarkan entah dari mana. Kami-sama dan Dewi Ruang Waktu terlihat sangat santai... yah, tak masalah sih.

 

Tiba-tiba sebuah musik iringan seperti saat naik level pada sebuah game rpg terkenal terengar. Saat aku berbalik, Dewa Musik, Sousuke nii-san sedang memainkan sebuah terompet.

 

“Nyahaha~ jackpot!” (Suika)

“Yosshaaaaaa!” (Dewa Kekuatan)

“Geh” (Touya)

 

Di sebelah Suika dan Sousuke nii-san yang sedang memainkan terompet, ada Dewa Kekuatan yang macho tadi. Dia sedang melakukan sebuah pose untuk menunjukkan otot-ototnya sambil memegang batang kayu yang ujungnya berwarna emas.

.... nanti kuminta Takeru ojii saja untuk mengawasinya. Aku tak akan kuat.

 

“Sepertinya akan membutuhkan waktu lama, jadi istirahatlah dulu.” (Tokie obaa-chan)

“Ah, iya, maaf merepotkan.” (Touya)

 

Dewi Ruang Waktu... Tokie obaa-chan, menuangkan teh dari poci teh ke cangkir untukku. Ah, batang tehnya berdiri. Setiap kali dewa menuangkan teh, kenapa batang tehnya selalu berdiri... apa mungkin itu sudah menjadi hal yang mutlak? Entahlah, hanya dewa yang tahu.

Sambil memikirkan soal hal yang sepele seperti itu, aku pun meminum tehku sambil melihat para dewa yang sedang mengguncang kotak omikuji. Ah, enak sekali...

 

Haa.... kumohon padamu Kami-sama, jangan sampai ada dewa merepotkan yang memenangkan undiannya.

 

“Aku tak seharusnya melakukan hal yang curang seperti itu, loh.” (Kami-sama)

“Ah, ya, benar juga.” (Touya)

 

Isi pikiranku dibaca lagi...



Sebelumnya || Daftar Chapter || Selanjutnya

2 comments: