Isekai wa Smartphone to Tomo ni Chapter 444 Bahasa Indonesia

 

TranslatorUDesu
Editor
UDesu
Proof Reader
UDesu


Arc 31: Pernikahan dan Bulan Madu
Chapter 444 : Marriage Blue dan Daftar Katalog



“Surat undangannya begini saja...” (Touya)

“Kalau begitu saya akan mengirimkannya menggunakan cermin [Gate]. Untuk orang-orang yang berada di kota akan langsung diberikan oleh para kesatria kita.” (Laim)

“Kuserahkan padamu.” (Touya)

 

Kepala pelayan kami, Laim-san, menundukkan kepalanya sambil memegang tumpukan surat di tangannya.

Haaa... bahuku pegal sekali. Ini pertama kalinya aku membuat surat sebanyak itu. Lagian ini bukanlah hal sepele yang bisa disampaikan hanya melalui sms, kan?

Rencana awalnya adalah menerima respon dari tamu undangan apakah mereka bisa hadir atau tidak. Tergantung dari jawaban mereka, maka aku akan membuka [Gate] di tempat mereka pada hari pernikahanku nanti. Tapi setelah diberitahu bahwa tak semestinya si pengantin sendiri yang melakukan itu, maka Tokie obaa-san mengajukan diri untuk menggantikanku. Lagian beliau lebih jago dalam hal perpindahan ruang. Jadi tak ada yang lebih cocok daripada dirinya. Aku benar-benar berterima kasih.

 

Aku pun mengeluarkan smartphone milikku dan melihat daftar yang sebelumnya telah kubuat.

 

“Selanjutnya... soal cinderamata pernikahan, ya?” (Touya)

 

Sebenarnya tak ada kebiasaan memberi cinderamata di dunia ini, akan tetapi ada adat di beberapa daerah untuk memberikan hadiah kecil kepada tamu undangan pada acara-acara seperti ini, jadi sebenarnya tidak bisa dibilang tidak ada sih. Jadi pada akhirnya kami memutuskan untuk memberikannya pada acara pernikahan kami. Yah, itu sudah biasa di bumi sih.

Jadi, apa yang sebaiknya kuberikan, ya? Para tamu undangan kemungkinan besar tidak akan sering menggunakan piring atau gelas yang memiliki foto kami, lagian, bukankah itu malah akan membuat kami malu?

 

“Cin..de...ra...ma...ta... per... ni...ka...han... hmm... ah, iya, ada juga pilihan untuk membuat daftar katalog.” (Touya)

 

Saat aku mencoba mencarinya menggunakan smartphone, ada banyak sekali situs yang menawarkan katalog.

Mungkin ini ide yang bagus. Biarkan saja para tamu memilih sendiri apa yang mereka mau dari katalog tersebut.

Tapi karena kebanyakan tamu undangan adalah keluarga kerajaan dan bangsawan, dan juga-orang-orang kaya lainnya, mereka pasti tak mau benda normal seperti tas atau peralatan makan meskipun kami menaruhnya dalam katalog.

Kalau begitu, mungkin aku harus memilih beberapa benda langka... hm, bagaimana kalau kursi pijat?

Mungkin makanan boleh juga... seperti kari instan... tidak, tunggu dulu, memberikan kari instan sebagai cinderamata pernikahan rasanya agak gimana gitu... ah, bagaimana kalau daging naga saja...

Atau mungkin mereka akan senang jika menerima baju zirah atau pedang? Atau mungkin juga aksesoris yang telah diberikan efek sihir? Orang-orang pada posisi tertentu mungkin akan senang menerima artifak dengan efek detoksifikasi atau pertahanan terhadap sihir.

Uh... aku jadi bingung mau memberi apa...

 

“Kurasa aku akan berjalan-jalan dulu untuk ganti suasana.” (Touya)

 

Aku meletakkan kembali smartphone di sakuku dan pergi meninggalkan ruangan. Dan begitulah, aku berjalan tak tentu arah di dalam istana. Aku yakin beberapa orang akan bertanya soal apa aku tak punya kerjaan, tapi yah, saat ini tak ada pekerjaan yang harus kuselesaikan sih. Lagian Brunhild adalah negara kecil, dan aku juga punya bawahan yang luar biasa.

Kemudian aku pun keluar istana setelah sebelumnya menyapa para maid yang sedang bekerja di lorong istana. Seperti biasa, kesatria kami sedang sibuk berlatih di tempat latihan. Mereka yang saling beradu pedang kayu, mereka yang melakukan latihan otot sendirian, dan juga mereka yang sedang melatih teknik mereka. Semuanya berlatih dengan sangat giat.

 

“Hm?” (Touya)

 

Di salah satu pojok tempat latihan ada seorang gadis yang sedang duduk sambil termenung melihat langit. Gadis itu adalah Elze. Di sampingnya ada sebuah botol air dan sepasang sarung tinju. Apa dia sedang beristirahat?

Karena sepertinya dia belum menyadari kedatanganku, aku pun berniat untuk sedikit membuatnya terkejut dengan diam-diam memutar ke belakang bangkunya.

Aku diam-diam mendekatinya dari belakang, dan menutup matanya dengan kedua tanganku.

 

“Tebak sia—guh?!” (Touya)

“Eh? Ah, Touya?” (Elze)

 

Saat aku mencoba menutup matanya, wajahku terkena tinjuan belakang Elze. Tinjuannya itu sampai membuat suara *Bughk!*... kurasa hidungku telah patah...

 

“Ma-Maaf! Tadi itu refleks! Aku tidak sengaja, oke?” (Elze)

“Aku tahu... lagian itu memang salahku...” (Touya)

 

Seharusnya tadi aku tidak berharap pada interaksi seperti sepasang kekasih... Ah, hidungku berdarah... sudah berapa lama sejak terakhir kali aku melihat darahku? Padahal kupikir aku sudah semakin kuat.

 

“[Muncullah Cahaya, penyembuh lembut, Cure Heal]!” (Touya)

 

Tak kusangka aku akan menggunakan sihir penyembuh pada wajahku sendiri. Kurasa aku harus lebih berhati-hati jika ingin membuat Elze terkejut.

 

“Hm, sudah berhenti. Maafkan aku.” (Elze)

“Tidak, ini memang salahku karena ingin mencoba mengejutkanmu karena kau sedang terlihat termenung tadi. Apa terjadi sesuatu?” (Touya)

“Ah, enggak kok... tidak ada yang terjadi... tapi... aku... sudah mau menikah... saat aku berpikir begitu, rasanya jadi gimana gitu...” (Elze)

 

Elze menghela nafas panjang sambil tersenyum kaku. Aku, yang berada di sebelahnya menjadi sedikit terkejut karenanya.

A-Apa mungkin ini... yang mereka sebut dengan “Marriage Blues”?

 

Orang-orang yang sebentar lagi akan menikah biasanya akan mulai merasa cemas dan melankoli soal kehidupan mereka setelah menikah dan pada kasus terburuknya, mereka akan membatalkan pernikahan mereka karena hal itu.

A-A-A-Apa yang harus kulakukan?

 

“A-Apa ada hal yang membuatmu khawatir?” (Touya)

“Hal yang membuatku khawatir? Tentu saja ada banyak.” (Elze)

 

Ada banyak? Gawat.... aku mulai berkeringat dingin.

 

“Maksudku, mau bagaimanapun juga, aku akan menyandang gelar sebagai seorang ratu. Aku tidak bisa melakukan hal yang bisa mempermalukan keluarga kita. Dan juga. Jika ki-kita punya anak, aku juga harus mendidik mereka agar bisa menjadi pangeran atau putri yang semestinya... aku ragu apakah aku bisa melakukan itu...  begitulah, ada banyak hal yang kupikirkan, dan pada akhirnya membuatku menjadi semakin gelisah...” (Elze)

“Tou!” (Touya)

“Aw!” (Elze)

 

Aku memukul pelan kepala Elze.

 

“Kau terlalu jauh memikirkannya. Kau tak perlu khawatir soal gelar ratu. Soalnya raja negara ini adalah aku, kan? Kenapa kau malah mengkhawatirkan soal itu sekarang? Kau hanya perlu menjadi ratu seperti dirimu sendiri, Elze. Dan juga, kau tak perlu mengurus anak kita seorang diri. Aku ada untukmu. Dan kita juga memiliki delapan ibu lainnya bagi mereka. Kau tak perlu khawatir. Tenang saja. Semua akan berjalan dengan lancar. Kita pasti akan bahagia. Itu sudah dipastikan oleh berbagai dewa, loh.” (Touya)

 

Elze, yang kepalanya baru saja dipukul terdiam sejenak, dan pada akhirnya tertawa kecil.

 

“Fufu, apa-apaan itu. Bagaimana mungkin aku masih merasa khawatir jika kau sampai membawa-bawa dewa seperti itu? Itu tidak adil, Touya.” (Elze)

 

Semua itu adil dalam cinta maupun perang loh. Kalau hanya untuk membuat hati orang yang kucintai merasa tenang, maka para dewa juga pasti akan memaafkanku.

Aku ingin Elze tetap tersenyum riang seperti dirinya yang biasanya. Senyum itu juga merupakan salah satu hal yang terus mendorongku agar tetap maju.

 

“Pokoknya, berhentilah khawatir seorang diri. Soalnya kita akan selalu bersama untuk waktu yang lama.” (Touya)

“Ya. Kurasa aku sudah baik-baik saja sekarang. Jadi aku hanya perlu bertingkah seperti aku yang biasanya, kan? Soalnya tak ada yang perlu dikhawatirkan jika kalian semua ada bersamaku.” (Elze)

 

Elze kemudian berdiri dan meregangkan tubuhnnya. Saat dia berbalik, dia menunjukkan senyum yang selalu ingin kulihat.

 

“Terima kasih, Touya.” (Elze)

“Itu adalah tugas bagi seorang suami untuk mendengarkan keluh kesah istrinya. Jadi tak perlu khawatir. Tak masalah selama masalahmu bisa diselesaikan.” (Touya)

“I-Istri?! Kau ngomong apa sih? Kita kan belum menikah, jadi aku masih belum menjadi istrimu!” (Elze)

 

Elze kemudian berbalik dengan wajah merah padam dan berjalan dengan cepat menjauhiku. Aryaa.... kurasa aku sedikit berlebihan menggodanya.

Yah, tak masalah sih karena dia tidak terlihat marah.

 

“Ah, seharusnya tadi aku juga mendiskusikan soal cinderamata pernikahan dengannya....” (Touya)

“Oh? Touya-dono. Apa kau sedang berjemur di sini-de gozaru ka?” (Yae)

 

Saat aku sedang memikirkan hal itu, kombo pendekar pedang Yae dan Hilda muncul di hadapanku sambil membawa pedang kayu di tangan mereka. Seperti biasa mereka terlihat sangat dekat. Sepertinya mereka datang untuk berlatih bersama.

Seperti halnya Elze tadi, mungkin sebaiknya aku juga menanyakan apakah ada yang membuat mereka khawatir atau tidak.

 

“Sesuatu yang membuatku khawatir soal pernikahan kita sebentar lagi?” (Hilda)

“Khawatir-de gozaru ka?” (Yae)

 

Mereka berdua saling memandang satu sama lain dan memikirkannya dengan sedikit kerut di wajah mereka. Ah, um, tak masalah kok jika tak ada hal yang membuat kalian khawatir... malahan aku akan senang jika memang tidak ada.

Mereka terus berpikir untuk sejenak, dan pada akhirnya Yae memukul kedua tangannya dengan bunyi *pon*

 

“Ah, aku jadi ingat, ada sesuatu yang membuatku khawatir.” (Yae)

“Eh, a-apa itu?” (Touya)

“Hidangan saat pesta pernikahan nanti... apa pengantin tidak boleh ikut memakannya-de gozaru ka?” (Yae)

 

Hanya itu? Yah, kurasa hal itu memang Yae banget.

Selanjutnya Hilda juga terlihat mengingat sesuatu.

 

“Ka-Kalau aku, saat aku sedang ha-hamil nanti... aku khawatir kalau tubuhku akan menjadi kaku, soalnya kudengar kalau seseorang tak boleh melakukan kegiatan yang terlalu berat saat sedang hamil...” (Hilda)

 

Kau terlalu jauh memikirkannya... memang sih, kalau sedang hamil tak boleh melakukan kegiatan yang berat.

Yah, kurasa mereka berdua tidak terlalu khawatir seperti Elze. Aku jadi merasa lega.

 

“Tapi, kenapa kau menanyakan itu?” (Hilda)

“Sepertinya, orang-orang akan mulai punya banyak pikiran menjelang pernikahan mereka. Jadi aku berniat untuk menyelesaikan kekhawatiran kalian.” (Touya)

“Kita baru saja akan mau menikah kan. Memang mungkin akan ada banyak kesulitan maupun rintangan yang menanti kita, tapi selama kita punya kekuatan cinta dan hati yang kuat, kurasa kita akan bisa menyelesaikannya bersama!” (Hilda)

“Y-Ya.” (Touya)

 

Hilda mengatakannya dengan mata berkaca-kaca. Ya, dia memang tipe gadis yang menjadi semangat saat dihadapkan pada cobaan dan tantangan. Dia mungkin benar-benar kebal dengan yang namanya “Marriage Blues”

 

“Aku percaya pada yang lainnya-de gozaru. Tak peduli apapun masalahnya, kita pasti bisa menyelesaikannya bersama-sama-de gozaru yo.” (Yae)

 

Jalan pikiran Yae sama denganku. Gadis ini sangat menghargai keharmonisan antara satu orang dengan yang lainnya. Di dalam hatinya, kami pasti sudah menjadi keluarga baginya sejak lama.  Baginya semua akan tetap sama seperti biasa. Itu adalah hal yang membuatnya menarik.

Aku jadi sedikit penasaran bagaimana pandangan adik kembar Elze soal topik ini.

 

“Apa kalian tahu dimana Linze saat ini?” (Touya)

“Linze-dono de gozaru ka? Akhir-akhir ini dia sering terlihat bersama Tokie-dono-de gozaru ga.” (Yae)

 

Oh iya, akhir-akhir ini dia sering belajar merajut oleh Tokie obaa-san di teras istana.

 

Karena aku akan mengganggu latihan mereka berdua dan juga karena aku sedikit khawatir soal Linze, aku pun menggunakan [Teleport] dan berpindah ke teras istana.

Di sana aku menemukan sosok Linze yang sedang duduk dan fokus dalam merajut.

Meskipun aku muncul sangat dekat dengannya, tapi dia sama sekali tidak sadar dan terus merajut dalam diam. Konsentrasinya hebat sekali.

Karena aku telah kehilangan waktu yang tepat untuk memanggilnya, maka aku hanya berdiri diam sambil terkesima melihat sosok Linze yang sedang merajut. Aku merasa dia sangat cantik saat sedang berkonsentrasi keras dalam melakukan sesuatu.

 

“...? Ah, Touya-san? Sejak kapan?” (Linze)

“Ah, maaf. Soalnya agak sulit untuk memanggilmu.” (Touya)

 

Lagian mana mungkin aku bisa bilang “Aku terkesima melihat dirimu”, jadi aku mengatakan hal acak saat dia menyadari kehadiranku.

Saat aku duduk di bangku yang ada di seberang Linze, dia menatapku sambil sedikit memiringkan kepalanya.

 

“Ada... keperluan apa?” (Linze)

“Ah, bukan hal yang serius kok...” (Touya)

 

Tunggu, mungkin ini memang hal yang serius bagi beberapa orang. Aku memutuskan untuk bertanya langsung pada Linze apakah ada hal yang membuatnya khawatir soal pernikahan kita nanti.

 

“Khawatir, ya. Memang sih ada hal yang kukhawatirkan. Tapi saat ini kurasa rasa antisipasi ku lebih besar.” (Linze)

“Antisipasi?” (Touya)

“Ya. Soal menjadi keluarga dengan Touya dan yang lainnya, soal membuat kenangan baru saat anak kita sudah lahir.. dan sebagainya... antisipasi soal masa depan...” (Linze)

 

Jadi daripada khawatir soal masa depan, dia lebih menantikannya, ya?

 

“Tapi kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu? .... Ah, Onee-chan, ya?” (Linze)

“Eh? Kok tahu?” (Touya)

“Soalnya Onee-chan terlihat sedikit bengong akhir-akhir ini. Onee-chan biasanya membutuhkan waktu lama saat dia sedang memikirkan sesuatu. Meski begitu dia tak akan pernah menarik kembali hal yang telah diputuskannya. Jadi tenang saja.” (Linze)

 

Seperti yang diharapkan dari saudari kembar. Dia benar-benar mengerti soal kakaknya, ya.

 

Selain itu, aku sudah sejak tadi ingin menanyakan ini, tapi benda yang bertumpuk di atas meja dan juga benda yang sedang dirajutnya saat ini itu jangan-jangan....

 

“Ah, iya. Ini adalah kaus kaki dan juga topi rajut, kan?” (Touya)

Aku mengambil salah satu topi rajut yang ada di atas meja. Topi ini dirajut menggunakan benang yang sangat halus dan lembut saat disentuh. Tapi bagaimanapun kau melihatnya, topi ini untuk ukuran bayi. Selain itu ada juga baju bayi, kaus kaki, dan juga celemek, tunggu, bukankah terlalu banyak pakaian untuk bayi?

 

“Soalnya ini untuk sembilan orang.” (Linze)

“Tunggu dulu, bukankah sekarang terlalu dini untuk menyiapkannya?” (Touya)

“Tak ada salahnya menyiapkannya lebih cepat, kan?” (Linze)

 

Ah, eng, maksudku, kita bahkan belum mulai membuat mereka... dan bukan berarti kesembilan anakku akan lahir secara bersamaan, kan?

Uh, sepertinya dalam pikirannya, Linze benar-benar melewati tahap ‘istri’ dan langsung menuju ‘ibu’. Apa mungkin insting keibuannya mulai keluar karena sebentar lagi kami akan menikah? Tapi progresnya terlalu cepat...

Yah, memang sih tak ada salahnya...

Ah iya, aku juga perlu bertanya soal cinderamata pernikahan kepada Linze.

 

“Cinderamata pernikahan? Untuk diberikan kepada tamu undangan, ya? Meski kau menanyakannya padaku, aku juga tak tahu apa yang bagus... mungkin cemilan dan semacamnya?” (Linze)

 

Cemilan, ya? Memang sih itu terlalu biasa, tapi tak ada salahnya. Kalau aku menyiapkan sesuatu seperti kue berkualitas tinggi yang terbuat dari bahan-bahan yang mahal, mungkin itu akan sangat disukai.

 

“Apa lagi kira-kira yang bagus?” (Touya)

“Hmm... ah iya, hari ini kan Sue akan menginap di sini, jadi bagaimana kalau kau menanyakan pada semuanya nanti?” (Linze)

 

Linze menepuk kedua tangannya sambil mengatakan itu. Hm... yah, mungkin itu ide yang bagus.

Aku sudah mulai terbiasa dengan acara “tidur bersama” yang biasa kami lakukan di ruangan yang sama. Yah, aku kebagian tidur di sofa sih. Rencananya aku ingin tetap melakukan hal ini hingga kami menikah. Tak masalah jika kalian mau menertawakanku, tapi aku sudah cukup hanya sekedar menerima ciuman selamat tidur dari para tunanganku.

Untuk sekarang, mari tanyakan kepada mereka semua dan menyelesaikan katalog ini. Kira-kira bagaimana cara mengurutkan daftar harganya, ya? Mungkin sebaiknya kutanyakan kepada Kousaka-san atau yang lebih berpengalaman soal hal ini. Yah, mempersiapkan acara pernikahan memang sangat melelahkan....

 

***

 

“Bagaimana kalau kita memberikan artifak yang simpel? Seperti memberikan efek yang sama seperti aplikasi musik di smartphone pada kotak musik atau sebagainya.” (Rin)

“Itu ide yang bagus. Kurasa itu akan sangat populer.” (Sakura)

 

Sakura yang memakai piyama berwarna pink setuju dengan pendapat Rin yang memakai piyama hitam. Jadi intinya seperti alat pemutar musik, ya.mungkin itu akan sangat disukai oleh para bangsawan. Eh, tunggu, tapi bangsawan kan biasanya punya kelompok pemain musik dan orkestra pribadi, jadi mungkin mereka tidak akan terlalu menginginkannya? Hmm... kucatat dulu saja deh di smartphoneku.

 

Seperti biasa, kami bersepuluh sedang mengobrol di atas tempat tidur super besar. Sebagai tambahan, kelompok Kohaku, Sango & Kokuyou, Kyougoku, Ruli, Pola, dan Albus sedang bermain permainan papan yang kubuat berdasarkan permainan di bumi. Nyantaro masih bersama ibu Sakura, Fiona-san, dan tak bisa datang ke sini.

 




“Oi, Ruli sialan! Aku sudah mengincar petak yang itu!” (Kohaku)

“Mana kutahu! Siapa cepat dia dapat! Oke, saatnya membangun desa di sini...” (Ruli)

 

Itu adalah sebuah permainan yang bisa dimainkan oleh sejumlah besar pemain. Permainan itu bertema membuat desa dan kota di sebuah pulau, dan siapa yang mencapai poin tertentu, maka dia yang akan menang. Situasi mereka saat ini sedang panas-panasnya. Tapi aku heran bagaimana mereka bisa melempar dadu dengan begitu baik.

Ah, mungkin aku bisa memasukkan permainan ini dalam katalog.

Untungnya, konsultasi seputar marriage blues yang bermula dari Elze, berakhir hanya dengan Sue yang mengatakan kalau dia mungkin akan merasa rindu rumah.

Atau lebih tepatnya, daripada rindu rumah, mungkin dia akan merasa kesepian karena setelah kami menikah, maka dia harus berpisah dari orang tuanya, Duke Ortlinde dan istrinya, adiknya Edward yang baru saja lahir, serta pelayannya Leim-san, yang telah merawatnya sejak kecil.

Aku memberitahunya bahwa dia bisa pulang kapanpun dia mau dengan menggunakan gerbang transfer, jadi dia tak perlu khawatir soal itu.

 

“Aku akan membuat keluarga baru bersama semuanya, jadi aku tak akan merasa kesepian.” (Sue)

 

Penampilannya masih menawan meskipun mungkin dia mengatakan hal itu sambil berusaha bersikap tegar. Tanpa sadar aku sudah memeluknya. Aku tak akan membiarkan gadis ini merasa kesepian. Jika tidak, maka aku tak tahu bagaimana harus berhadapan dengan Duke Ortlinde.

 

“Secara pribadi aku lebih suka peralatan masak berkualitas bagus dan semacamnya.” (Rue)

“Hm, tapi bukankah benda semacam itu lebih diinginkan oleh kepala koki mereka?” (Yumina)

 

Rue dan Yumina sedang berdiskusi berdua. Memang benar di kalangan keluarga kelas atas mungkin tidak banyak orang yang punya minat memasak. Yah, tapi yang hadir ke pernikahan kami bukan hanya kalangan atas sih, ada juga orang-orang seperti Mika-san dan Dolan-san dari penginapan [Bulan Perak], Barral-san dari toko senjata [Delapan Beruang] dan sebagainya.

Ada kemungkinan besar mereka akan memilih benda semacam itu. Soalnya benda-benda itu akan sangat praktis dan berguna bagi pekerjaan mereka. Oke, aku masukkan juga ke dalam katalog.

 

“Omong-omong, apa yang biasa diberikan di ‘bumi’?” (Linze)

“Hmm? Mau lihat?” (Touya)

 

Aku pun memproyeksikan beberapa macam katalog yang kutemukan via daring di smartphone-ku di udara agar mereka semua bisa melihatnya.

Kebanyakan adalah benda seperti hidangan ataupun bahan makanan. Tentu saja, yang paling cepat bereaksi adalah Yae dan Rue.

 

“Oh, daging itu terlihat sangat enak-de gozaru na....” (Yae)

“Iya! Aku jadi ingin mencobanya juga!” (Rue)

“Tenang saja, kita akan mencobanya saat bulan madu ke sana nanti.” (Touya)

 

Aku sudah mendapat izin dari Kami-sama. Meskipun secara formal kami ke sana dengan alasan studi wisata ke dunia lain bagi dewa baru beserta para dependannya sih.

 

Malam itu, kami membicarakan soal katalog hingga larut malam. Aku tak bisa menyangkal kalau malam itu terlalu hambar bagi seorang pria yang menghabiskan malam bersama para tunangannya.

Mungkin aku juga harus sedikit bermesraan bersama mereka ya... hm...

 

 Sebelumnya || Daftar Chapter || Selanjutnya

1 comment: