Maseki Gurume Chapter 9

TranslatorUDesu
Editor
UDesu
Proof Reader
UDesu


Chapter 9 :
Kemana Aku Akan Pergi?


[Sampai jumpa Ain! Aku akan bermain ke tempatmu suatu hari nanti, syukurlah wilayah tempatmu tinggal sangat dekat!]

Karena sepertinya Krone harus kembali ke tempat pesta, dia dan Ain pun saling mengucapkan selamat tinggal.
Setelah memberikan Kristal Bintang padanya, dia terlihat semakin tertarik pada Ain.
Pertama, dia mulai bergenggaman tangan dengan Ain, setelah itu, dia juga telah memanggil nama Ain tanpa honorifik.
Dan setiap kali Ain memanggilnya Krone-sama, kesan dewasanya akan hilang dan dia akan menggembungkan pipinya menandakan kekecewaan. Dan pada akhirnya dia mulai merangkul tangan ain dengan erat saat berjalan.

Perilaku yang bisa dengan mudah dimengerti itu berlangsung hingga saat seorang pelayan datang dan memberi tahu Krone bahwa Archduke telah memanggilnya.

Memahami tugas yang diberikan dan berusaha memenuhinya telah memberi kesan yang sangat baik padanya.
“apa dia pernah sesekali bersikap egois?” pikir Ain.

[Baiklah. Lagipula tempat ini bukan tempat yang tepat untuk bermain]

Bagaimanapun juga, dia tak mungkin datang ke rumah ini dan bilang “Krone-chan, main yuk!”.
Tentu saja, soalnya keluarga Roundheart kelasnya lebih rendah daripada keluarga Archduke Augusto.

[Fufu... baiklah. Kalau begitu, Olivia-sama, terima kasih telah meluangkan waktu yang menyenangkan ini.]
[Wah, wah, harusnya aku yang bilang begitu. Terima kasih karena telah menemani kami hari ini. Aku akan sangat senang jika Krone bisa akrab dengan anakku.]
[Ain, aku sudah mendapat izin dari Olivia-sama.]
[...haha... tolong jangan terlalu berlebihan...]
[Kalau begitu, sampai jumpa lagi.]

Setelah mengatakan itu, Krone pun kembali ke tempat pesta.

[Yah, aku tak begitu yakin apakah kedepannya kami bisa semakin akrab...]

Ain berasal dari keluarga Earl dan Krone berasal dari keluarga Archduke. Perbedaan diantara keduanya sangat besar.
Di atas Earl masih ada Marquis, dan di atasnya lagi ada Duke. Dan Archduke masih berada di atasnya lagi.
Tapi, bukan cuma itu masalahnya.
Ain yakin, bahwa keluarga kerajaan pasti juga menginginkan Krone.
Dia pintar, dan penampilannya juga menarik. Itu saja sudah cukup baginya untuk menjadi pengantin keluarga kerajaan.

Itulah sebabnya dia berpikir bahwa masa depan dimana dia bisa bertemu dengan Krone tidak akan terjadi.

***

[Terima kasih, Ain.]
[Untuk apa?]
[Kau melakukannya demi ibu, ‘kan?]
[... Aku tak tahu apa yang ibu maksud, tapi, aku akan bahagia selama ibu juga bahagia.]
[Fufu... begitu, ya? Baiklah kalau begitu.]

Hal terbaik hari ini adalah bahwa ibu tidak dipermalukan dan bisa menikmati malam ini.
Omong-omong, kudengar bahwa Krone kembali karena pestanya sudah mau selesai. Aku penasaran tentang keadaan ayah.

[Maaf, aku ingin bertanya dimana Logas-sama... Earl Roundheart saat ini.]
[Oh, Nyonya Roundheart... mohon tunggu sebentar.]

Setelah keluar dari taman, kamipun menunggu di ruang tamu di dekat meja resepsionis.
Tentu saja kami tak bisa pulang sendirian. Aku tak menyukainya, tapi kami tetap harus pulang bersama mereka.

***

[Lama sekali...]

Sepuluh menit telah berlalu sejak kami menanyakan keberadaan ayah pada pelayan. Dan hingga saat ini belum ada informasi yang datang.

[Yah, meninnggalkan acara pesta yang diselenggarakan oleh Archduke bukanlah hal yang mudah.]
[Tidak baik jika dia sampai kehilangan muka di hadapan orang lain, ‘kan?]
[Kau memang anak yang baik, Ain.]

...Yah, aku sangat senang karena telah dipuji oleh ibu. Meski begitu, bukankah ini sudah terlalu lama?

Aku paham kenapa aku tidak boleh masuk ke sana.
Tapi bukankah seharusnya mereka cepat keluar?
Bagaimanapun juga, sudah jelas terlihat bahwa ayah telah menelantarkan istrinya di luar selama pesta berlangsung.

[Haah.... haaah... terima kasih telah menunggu, Nyonya Roundheart.]
[Ah, maaf karena telah membuatmu tergesa-gesa. Jadi? Dimana suamiku saat ini?]
[Maafkan aku, tapi mereka bertiga telah pergi menuju pesta yang diadakan oleh Viscount Lance.]
[Kami baru saja bersama Krone-sama dan berpisah dengannya karena ia harus memberi sapaan di dalam... Apa itu berarti suamiku telah meninggalkan kediaman Archduke sebelum Krone-sama masuk?]
[Ya. Sejak awal, Earl Roundheart sudah berniat untuk menghadiri pesta yang diselenggarakan oleh Viscount Lance, dan ia telah memberi kabar kepada Archduke soal itu. Jadi apa yang dia lakukan tidak menjadi tindakan yang dianggap tidak sopan.]
[Dengan kata lain, dia sudah tidak ada di sini lagi?]

Eh? Ada apa, bu?
Sejak awal pesta tadi, ibu memperlihatkan ekspresi kasihan padaku.
Ekspresinya tidak berbeda dari biasanya, tapi, auranya terlihat sedikit tertekan dari biasanya dan membuat suasana menjadi tidak enak. Tentu saja sudah sewajarnya jika dia marah pada kelakuan ayah yang pergi ke pesta lain dengan istri keduanya.

[Sesuai yang Anda katakan, maaf karena membuat Anda menunggu lama.]
[Tak masalah, jangan khawatir... Terima kasih.]
[Baiklah. Kalau begitu, saya pamit dulu. Jangan ragu untuk memanggil saya jika Anda membutuhkan sesuatu.]


.....
.....
[...Fuuh... kurasa sudah cukup.]

Ibu menghela nafas kecewa. Dan saat aku melihatya, ekspresinya mengatakan seolah dia sudah muak.
Meski begitu, ibu masih terlihat cantik.

[Ain, soal ayahmu... apa kau menyukainya?]
[...Eh?]

Tiba-tiba saja, pertanyaan yang tak disangka keluar.

[Ah, maaf Ain... aku tahu kau pasti akan kebingungan jika tiba-tiba ditanya begitu. Tapi, aku ingin mendengar pendapatmu yang sebenarnya.]
[Maksud ibu, perasaanku yang sebenarnya?]
[Iya. Jadi? Soal ayahmu... apa kau menyukainya dan tak ingin berpisah darinya?]

Ah, aku mengerti.
Ibu pasti ingin aku hanya mencintai dirinya
Mungkin dia tak ingin mengakui kalau dia sedih dan merasa kesepian.... karena mendapat perlakuan seperti itu dari keluarga dimana dia menikah  secara terpaksa.

Kalau begitu...

[Maafkan aku, bu. Sejujurnya, aku tak begitu menyukai ayah sampai tidak ingin berpisah darinya.
Aku sangat berterima kasih padanya karena telah membesarkanku. Tapi aku tak punya perasaan cinta kepadanya, yang telah memperlakukan ibu seperti ini.]

[Be-Begitu, ya... jadi, apa tak masalah jika kita... tidak hidup bersama ayah?]
[Tak masalah selama ibu ada bersamaku. Dengan kata lain, aku baik-baik saja.]

Ain pun yakin setelah melihat betapa senang Olivia mendengarnya.
Dia merasa jawabannya sudah benar. Lagipula, dia tak tahan melihat ibunya merasa sedih dan kesepian. Dia ingin selalu ada di sisinya.

....
Tapi kalau dipikir lagi, ini adalah awal dari kejadian yang tak pernah disangka olehnya.

***

[kalau begitu, ayo kita mulai.]

Olivia menggenggam cincin yang baru saja dilepas dari jarinya.

[ibu?]

Cincin itupun berkarat dengan cepat kemudian hancur tak bersisa.

[Aku melakukannya karena aku sudah tak membutuhkannya lagi.]
[Ibu... tidak membutuhkannya lagi?]

(Eh? Apa tadi itu sihir? Itu sihir, kan? Cincinnya hancur dengan seketika. Seram sekali.)

Ain sangat terkejut melihatnya.
Dia pernah melihat sihir sebelumnya, namun itu hanya sekedar untuk memanaskan air atau memotong sesuatu.
Tapi ini pertama kalinya dia melihat sihir seperti itu.

Tak mungkin cincin pernikahan yang dibuat khusus untuk bangsawan dibuat dari logam yang mudah berkarat.
Cincin adalah benda mewah yang biasanya terbuat dari emas, dan cincin tadi pasti dibuat dari emas murni.

(Kudengar kalau emas murni itu tak bisa berkarat...  sebuah logam akan berkarat jika memiliki zat campuran di dalamnya, tapi aku ragu keluargaku akan membelikan cincin murahan.)

Olivia terbilang cukup hebat sebagai seorang penyihir karena bisa dengan mudah melakukan itu.
Ayah Ain adalah seorang jendral di kerajaan Heim yang dari segi kekuatan bertarung, merupakan salah satu ksatria terkuat di kerajaan ini. Jadi wajar saja jika ayahnya bisa bertemu dengan ibunya lalu kemudian menikahinya.

(Aku pernah dengar kalau dulu ibu bekerja sebagai penyihir di istana, tapi sepertinya ibu lebih hebat dari yang kuduga.)

Ada mantra sihir yang bisa menembakkan api ataupun es, tapi karena Ain belum pernah melihatnya, sihir tadi sudah cukup membuatnya takjub.
Wilayah Roundheart adalah sebuah wilayah yang terdiri dari para ksatria, jadi di sana tidak banyak memiliki orang yang ahli dalam sihir.

(Tapi bukan itu masalahnya. Ibu telah menghancurkan cincin pernikahannya. Kenapa dia melakukan itu?)

[Haa... aku merasa sangat lega. Ya... ini membuatku lega, harusnya aku melakukan ini sejak awal. Oh iya, Ain, apa kau takut naik kapal dan melakukan perjalanan di laut?]
[Laut? Yah, aku tidak tahu bagaimana rasanya, tapi kurasa aku akan baik-baik saja.]

(Ada apa bu? Tolong jelaskan padaku...
Aku belum pernah naik kapal, jadi aku tak tahu bagaimana rasanya.)

[Syukurlah! Apa kau mau pergi berpetualang berdua bersama ibu?]

(Be-Berpetualang?)

[Ma-Mau! Aku mau!]

Perhatian Ain teralihkan oleh suasana yang dibuat oleh Olivia, yang terlihat berbeda dari dirinya yang biasanya.

[Kalau begitu, pertama-tama kita harus kembali ke kota pelabuhan...]
[Iya juga, lagipula ayah sedang tidak ada di sini. Apa kita bisa sampai rumah sebelum esok tiba?]
[Fufu... Aku yakin kita akan sampai tepat waktu. Kalau begitu, ayo pergi.]

Ain tidak bisa menanyakan kenapa ibunya menghancurkan cincin itu ataupun kenapa dia merasa lega.
Meskipun Ain tak bisa bertanya karena dia melihat ibunya sudah tidak sedih lagi, dia pun tak bisa memprediksi apa yang akan terjadi akibat perbuatan itu.

***

[Akhirnya kita sampai juga, bu!]
[Maaf karena kita harus terburu-buru seperti ini.]

Mereka tiba tepat sebelum hari berganti, sesaat sebelum tengah malam.
Akhirnya mereka tiba di kota Roundheart.
Ain merasa lelah setelah menaiki kereta kuda selama setengah hari. Tapi sejujurnya dia sangat menikmati harinya di ibukota.

[Eh? Kenapa kita tidak berhenti, bu?]
[Iya. Kita tidak turun di sini, tunggu sebentar lagi, oke?]
[...baiklah.]

Kereta kuda melewati kediaman Roundheart, dan terus melaju menuju pelabuhan.
Entah kenapa suasana kota sangat ribut pada hari itu.

[Bu, aku tak tahu apa yang terjadi, tapi sepertinya di luar sangat ribut meskipun ini sudah larut malam.]

Sangat aneh melihat suasana kota sangat ribut meskipun saat itu sudah hampir tengah malam.
Kota pelabuhan Roundheart terletak di dekat ibukota dan banyak toko penjual minuman keras yang buka saat malam.
Meski begitu, keadaan saat ini terasa sangat aneh.

(Aneh sekali... hari ini terlalu rusuh.)

Ain penasaran tentang apa yang bisa didengarnya dari dalam kereta kuda.
“apa itu suara pasukan yang sedang berpatroli?” pikirnya.
Apapun itu, suasananya terlalu gaduh.

(Apa ada kecelakaan?)

[Nyonya, sepertinya di depan terlalu ramai... apa tak masalah untuk terus maju?]

Pengemudi kereta kuda bertanya pada Olivia.

[Ya. Jangan khawatir. Terus jalan sampai ke pelabuhan.]

Tapi Olivia memerintahkan untuk terus maju.

(Apa ada kecelakaan? Apa ibu tahu apa yang sedang terjadi?)

Banyak pertanyaan yang muncul di benak Ain.
(Tlnote : entah kenapa gw kesal sama Ain di chapter ini... author juga terlalu memaksakan pikiran ain yang terkesan bertele-tele dan heboh sendiri seperti ‘ada apa?’ ‘Apa yang terjadi?’.)
(tlnote2 : itu juga alasan kenapa gw lama ngerjain ini... gak mood jadinya)

[Umm... di luar ramai sekali.]

Sebenarnya bukan itu yang ada di pikirannya, tapi dia tetap mengatakannya karena sudah tak tahan lagi dengan keheningan di dalam kereta kuda.

[Fufufu, iya. Sebentar lagi Ain akan melihat sesuatu yang luar biasa.]
(Aku sering melihat ‘seseorang’ yang luar biasa, kok.)
[Aku sangat menantikannya...]


Saat mereka terus berjalan dan hampir sampai di pelabuhan melalui jalan utama, Ain melihat suatu hal berukuran besar yang belum pernah dilihatnya sebelumnya.
Ain melihat sesuatu yang mencuat di balik atap rumah di dekat pelabuhan, di belakang sebuah penginapan berlantai tiga... sesuatu yang mirip seperti cerobong asap.
Di saat mereka semakin dekat, jumlah kerumunan orang pun semakin bertambah.
Dan saat Ain tiba di pelabuhan, keributan pun mencapai puncaknya.
Apa yang terlihat oleh Ain adalah sebuah kapal besar yang sedang berlabuh di pelabuhan.

[A-Apa-apaan ini?]

Itu adalah sebuah kapal besar, berwarna putih, dan panjangnya bisa mencapai 200 meter.
Kapal itu terkesan seperti sebuah kapal perang, karena dilengkapi oleh sesuatu yang mirip seperti corong besar yang terlihat mampu menembakkan laser.

[Baguslah karena sudah sampai. Baiklah, Ain, kita akan menaikinya.]
[Menaikinya... apa maksudmu, Bu?]

Meski diberitahu kalau mereka akan menaikinya, Ain tetap tidak yakin soal itu setelah melihat apa yang ada di hadapannya.

[Pak pengemudi, tolong antarkan surat ini pada keluarga Roundheart.]

Beberapa waktu lalu Olivia telah menulis sebuah surat saat berada di dalam kereta kuda.
Kemudian dia memberikan surat itu pada orang yang bertugas mengemudikan kereta kuda tersebut.

[Ba-Baik...]

(Bu, kau membuat pak pengemudi sampai ketakutan... harusnya ibu memberi lebih banyak penjelasan.)


[Olivia-sama!]
[Nyonya Roundheart! Apa itu?]

Penduduk kota Roundheart memanggil Olivia, yang sepertinya tahu soal apa yang sedang terjadi.
Biasanya Olivia akan menjawab mereka sambil tersenyum layaknya bidadari, tapi kali ini, dia tak menjawab maupun tersenyum pada mereka.

Setelah turun dari kereta kuda dan berjalan di antara kerumunan selama beberapa menit, Ain melihat sekitar sepuluh ksatira turun dari kapal besar tersebut dan berjalan ke arahnya. Terdapat satu orang ksatria dengan zirah yang terlihat lebih bagus berjalan jauh di depan mereka dan berhenti di hadapan Ain.

[Ibu!]
[Tak apa-apa, Ain. Tenanglah...]

Apa mereka kenalan ibu?
Saat Ain memikirkan itu, Olivia pun berpaling ke arah Ain dan tersenyum padanya.
Olivia lalu berjalan ke arah sebelas ksatria yang turun dari kapal tadi.
Di lain pihak, Ain merasa waspada dan siap melindungi Olivia apapun yang terjadi.

[...Oh, ksatria pemberani. Tenang saja, kami bukan musuhmu.]

Suara itu datang dari ksatria yang berzirah paling bagus.
Setelah mengatakan itu, ksatria itupun berlutut dan melihat Ain.

“Suara ini, apa dia seorang wanita? Lalu, apa maksudnya mereka bukan musuh?”
Ain mulai penasaran soal maksud dari kata-kata tersebut.

[Bukan musuh?]


Setelah berpikir sejenak, ksatria itu kemudian melepas helmnya dan tersenyum pada Ain.
Di balik helm itu adalah seorang wanita cantik yang terlihat berusia 20 tahun, dengan rambut pirang dan kulit putih yang menawan.

 

[Ya, aku berada di pihakmu, meski begitu, mengingat posisiku saat ini, akan sangat tidak sopan menyebut diriku sebagai sekutumu... Setidaknya, aku tidak sedang membohongimu. Senang bertemu denganmu, Ain-sama.]
[Y-Ya... senang... bertemu denganmu.]

Ain tak bisa menjawab dengan lancar karena kejadian yang sangat mendadak ini.
Meski dia berada di pihaknya, Ain tetap tak bisa segera mempercayainya.

[Lama tidak bertemu, Chris. Terima kasih karena telah khawatir tentang apa yang sedang dipikirkan Ain.]

Olivia berbicara kepada ksatria itu layaknya teman dekat sambil tersenyum.

[Saya sangat senang karena bisa melihat Anda lagi. Kami menerima pesan dan segera datang menjemput Anda... Tuan Puteri.]

(Tuan Puteri? Eh? Dia tidak mengatakannya padaku kan? Itu soal ibu...?)







3 comments: